VemmeDaily.com, Jakarta – Antibiotik menjadi salah satu jenis obat yang sering diresepkan oleh dokter untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Namun resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) telah dinyatakan sebagai salah satu permasalahan kesehatan paling mengancam populasi dunia. Tanpa upaya pengendalian secara global, maka tahun 2050 diperkirakan AMR menjadi pembunuh nomor satu di dunia dengan angka kematian mencapat 10 juta jiwa.
Dr. dr. Hari Paraton SpOG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikrobial (KPRA ) mengatakan, ada empat penyebab munculnya resistensi antibiotik. Pertama, pemakaian berlebihan (overused) karena kurangnya kontrol dari pihak pemberi antibiotik maupun inisiatif pengguna antibiotik.
Kedua, penggunaan antibiotik tanpa indikasi (misused). Banyak orang yang menggunakan antibiotik tanpa anjuran dokter sehingga menimbulkan resistensi pada suatu antibiotik.
Ketiga, penggunaan di bawah dosis yang dianjurkan (underused). Resistensi antibiotik bisa juga terjadi jika seseorang yang seharusnya rutin minum antibiotik, tetapi tidak mematuhi petunjuk penggunaan tersebut. Keempat, transmisi bakteri resisten di fasilitas kesehatan, akibat abainya menjalankan kewaspadaan universal.
Ia mengingatkan bahwa antibiotik tidak perlu digunakan untuk mengobati penyakit karena virus seperti misalnya pada penyakit flu. “Jadi flu nggak pakai antibiotik juga akan sembuh. Justru penggunaan antibiotik pada penyakit flu bisa memicu bakteri dalam tubuh menjadi resisten,” jelasnya di acara Peringatan Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia (World Antibiotics Awareness Week) 2019 di Rumah Sakit Universitas Indonesia, 21 November 2019.
Menurutnya , bakteri resisten yang ada di dalam tubuh bisa diciptakan oleh diri sendiri, dokter atau pasien lain melalui transmisi. Bakteri resisten juga ada di permukaan kulit tangan, wajah dan lainnya. Bakteri bisa berkembang biak selama 20 menit dengan duplikasi. Kalau jumlah bakteri resisten banyak maka bisa timbul radang dan dari radang bisa muncul nanah. “Disarankan untuk tidak membawa anak-anak ke rumah sakit. Pasien dengan bakteri resisten juga ada kodenya di rumah sakit dan tidak boleh bersalaman dengan orang lain,” terangnya.
Ia menambahkan, seringkali dokter memberikan antibiotik pada penderita stroke yang tujuannya mencegah infeksi karena pemasangan kateter. Tetapi justru di hari kelima atau keenam penderita mengalami sesak nafas karena radang paru yang dipicu oleh pemberian antibiotik, jadi pemberian antibiotik menyuburkan bakteri -bakteri tertentu yang akhirnya menimbulkan radang paru. “Untuk itu penting dilakukan pemeriksaan diagnostik dalam menentukan terapi antibiotik, apakah disebabkan bakteri atau hanya karena infeksi virus yang bisa sembuh sendiri,” jelasnya.
Kuman penyebab penyakit ada bakteri, jamur, virus dan cacing. Hanya kuman bakteri saja yang bsia diobati dengan antibiotik seperti penyakit TBC, usus buntu, dan penyakit karena bakteri. Untuk penyakit yang penyebabnya bukan bakteri tidak boleh menggunakan antiobiotik dalam pemgobatannya seperti misalnya demam berdarah, flu, diare, cacar air, campak dan penyakit lain yang bukan karena bakteri.
Dr. dr. Budiman Bela, SpMK(K), Direktur Umum RS Universitas Indonesia, menambahkan bahwa terapi antibiotika bermacam-macam dan jenis bakteri yang diberikan antibiotika juga bermacam-macam.
“Tidak semudah itu untuk memberikan antibiotika kepada pasien. Masyarakat juga jangan mencoba mengobati diri sendiri dengan antibiotika, tetapi harus ke dokter. Seperti misalnya penyakit diare itu disebabkan sebagian oleh bakteri dan sebagian besar pada anak- anak oleh virus. Ternyata diare yang disebabkan oleh bakteri pun sebagian besar tidak perlu diberikan antibiotika. Yang harus dilakukan adalah pergi ke dokter supaya bisa cepat diketahui apakah perlu penggantian cairan dengan infus ataukah cukup pengobatan di rumah saja. Hal- hal seperti ini yang harus diberikan edukasinya kepada masyarakat. Termasuk nyeri tenggorokan, masyarakat merasa perlu antibiotik tanpa resep dokter yang mudah didapat di apotik seperti amoxicillin, itu seharusnya tidak terjadi. Seharusnya pasien periksa dulu ke dokter apakah betul nyeri tenggorokannya disebabkan karena bakteri,” tegasnya.
