VemmeDaily.com, Jakarta – Keberanian untuk berkreasi membuat usaha rumahan mampu mendulang rupiah hingga puluhan juta rupiah.
Tiwi bersama sahabatnya Sesil membangun bisnis kuliner Sambauluku sejak 2,5 tahun lalu. Saat itu Tiwi dan sahabatnya ingin merintis usaha kuliner produk sambal yang bisa disimpan dan tidak perlu diproduksi setiap hari. Satu jenis macam sambal dibuat sekitar 30 bungkus.
Sekarang hampir setiap hari produksi Sambalauku yang saat ini ada 6 jenis sambal dan 5 lauk pauk yaitu cumi hitam ala Aceh, cumi cabe hijau, tuna pindang asam pedas, bunga pepaya tumis cakalang dan daun pepaya jepang tumis tuna.
Ada jenis sambal tertentu yang bisa diproduksi hingga 50 pack sekali produksi, dan yang menjadi favorit adalah sambal teri matah, tuna kecombrang, dan gabus cabe hijau.
“Belakangan ini saya kebanjiran pesanan sambal roa. Bahkan dalam seminggu, satu reseller bisa ambil sampai 39 karton,” ujar Tiwi.
Harga jual Sambaluku Rp 60 ribu per bungkus dengan berat 175 gram menggunakan kemasan plastik standing pouch khusus untuk makanan berminyak, bukan botol kaca karena kendala di pengiriman bisa beresiko pecah.
“Daya tahan produk setelah divacuum dan disealer sampai sekitar 8 bulan jika disimpan di freezer. Kia tidak pakai pengawet, bumbu penyedap rasa atau pewarna makanan,” tambahnya.
Semua jenis sambal yang diproduksi pasti ada lauknya dan itu menurut Tiwi merupakan satu kelebihan Sambalauku, seperti sambal matah ditambah dengan teri dan ternyata lebih enak.
“Sambalauku juga praktis dikonsumsi dengan nasi panas atau dibuat nasi goreng sudah lezat. Kita yang pertama kali ciptakan sambal yang ada lauknya, maka dari itu kita beri nama Sambalauku,” terangnya.
Saat ini Sambalauku sedang dalam proses pengurusan izin edar Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) namun menurut Tiwi untuk pengurusan di DKI Jakarta masih ada kendala dan sulit mengurus dalam 2 tahun ini.
“Kebetulan saya dan sahabat saya tinggal di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, dan di daerah itu rumah kami tidak bisa dipakai untuk pengajuan PIRT di DKI karena aturan luas tanah harus kecil sekali. Kita sedang mencari lokasi produksi di daerah lain seperti Depok atau Tangerang,” ungkapnya.
Proses produksi Sambalauku dibantu oleh tenaga karyawan lepas yang dibayar secara harian. Untuk pemasaran Tiwi menawarkan ke kalangan rekannya saat masih bekerja di advertising agency, selain itu sering mengikuti kegiatan bazaar yang diadakan Komunitas Organik Indonesia.
“Kita saat ini juga punya dua reseller. Untuk menjadi reseller, sistemnya beli putus dengan diskon menarik. Selain itu promosi lewat sosial media seperti instagram Sambalauku,” jelas Tiwi.
Kini hanya dengan modal awal Rp 10 juta untuk membeli peralatan dan bahan, Sambalauku mampu meraih omset dalam sebulan di atas Rp 50 jutaan.