VemmeDaily.com, Jakarta – Kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga jenjang tertinggi tentu memiliki dampak positif bagi perkembangan anak. Terutama untuk meraih masa depan gemilang dan mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Namun sayangnya dalam upaya atau perjalanannya terkadang harus ternodai dengan perilaku remaja yang justru bisa menghancurkan masa depan. Salah satunya tawuran atau perkelahian. Kebiasaan buruk tersebut tak hanya menimbulkan efek negatif pada anak, tetapi lingkungan sekitarnya.
Dari tahun ke tahun, masalah perkelahian remaja masih menjadi momok yang menakutkan bagi para orang tua. Mulai dari tawuran yang melibatkan antar sekolah hingga perkelahian remaja di dalam lingkungan sekolah mereka sendiri. Perkelahian itu tidak saja mengganggu kelangsungan kegiatan belajar mengajar, tetapi merugikan banyak pihak.
Meski tak semua peristiwa perkelahian remaja terangkat beritanya oleh media, namun pada akhirnya perkelahian remaja hanya akan mendatangkan malapetaka yang berakhir di meja hijau bahkan kematian. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan orangtua dan juga pihak pendidik. Di mana proses pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan menanamkan budi pekerti, tetapi harus kandas akibat perilaku yang tidak terpuji.
Menurut Henni Norita, M.Psi, Psikolog dari Hikari Montessori, ada empat faktor psikologis mengapa remaja terlibat perkelahian antar pelajar di antaranya:
Internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya belum mampu beradaptasi pada situasi lingkungan kompleks. Kondisi ini biasanya menimbulkan masalah atau tekanan pada seseorang. Pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi serta memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri.
Untuk memahaminya, ada ciri-ciri yang bisa dikenali ketika remaja belum mampu beradaptasi ketika menghadapi situasi tersebut, di antaranya mereka mudah putus asa, sering menyalahkan orang lain ketika menghadapi masalah, memilih menggunakan cara singkat untuk menghadapi masalah serta cepat melarian diri dari masalah.
Keluarga. Rumah tanga yang dipenuhi kekerasan, misalnya kekerasan bapak terhadap ibu, ibu terhadap bapak, atau orangtua terhadap anaknya, akan membawa dampak negatif terhadap anak. Ketika beranjak remaja, anak terus merekam memori tersebut dan tidak menutup kemungkinan anak akan belajar mengenai kekerasan.
Sebaliknya orangtua yang terlalu melindungi anak, anak akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya. Dengan dua karakter yang berbeda-beda tersebut, ketika anak bertemu atau bergabung dengan teman-teman yang dirasa “senasib”, ada kemungkinan mereka akan menyerahkan diri secara total terhadap teman sekelompoknya. Ini menjadi bagian dari identitas yang dibangun atau pencarian identitas diri.
Sekolah. Sekolah merupakan tempat menimba ilmu bagi anak-anak demi mencapai masa depan cerah. Namun sebaiknya sekolah jangan hanya dipandang sebagai lembaga yang hanya bertujuan mendidik muridnya menjadi sesuatu, tetapi sekolah harus dinilai dari kualitas pengajarannya.
Untuk itu di lingkungan sekolah yang kurang merangsang atau memfasilitasi siswa belajar dan beraktivitas akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Kualitas pendidikan termasuk peran guru kelas, guru bidang studi, guru BK dan psikolog sekolah memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran.
Lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah bisa menjadi pemicu terjadi perkelahian remaja. Misalnya, lingkungan rumah yang tidak mendukung atau anggota lingkungan rumah yang mencontohkan perilaku buruk. Di antaranya, informasi luas dari gadget tanpa pengawasan, tayangan kekerasan di televisi atau permainan game online. Lalu tingginya rasa solidaritas pada pelajar yang terjadi bukan hanya ketika mereka senang atau bahagia, tetapi saat terjadi duka, ancaman dan kesulitan.
Untuk mengantisipasi masalah perkelahian atau tawuran pada remaja sebaiknya diperlukan keterlibatan banyak pihak. Peran orangtua dan sekolah harus saling melengkapi dan mendukung proses pembelajaran anak di sekolah. Di rumah, orangtua sebaiknya menghindari beberapa perilaku yang bisa membuat anak merekam kejadian negatif dalam kehidupannya. Misalnya mendidik dengan kekerasan, bertengkar di depan anak, berbicara menggunakan bahasa kasar dan mencaci maki anak atas kesalahannya.
Sebaliknya untuk memberikan ruang dan kenyamanan kepada anak di rumah, berikan suasana yang tenang dan damai agar anak merasa aman ketika mengalami masalah di luar rumah, ia tahu ke mana tempat harus mengadu. Selain itu, tak ada salahnya untuk mendengarkan segala keluh kesah anak dan menjadi teman atau sahabat anak. Orangtua juga harus peka memperhatikan perubahan yang terjadi pada anak. Perubahan yang diperhatikan bukan hanya sikap atau perilaku, tapi perubahan emosional.
Namun yang perlu diingat saat terjadi perubahan yang terjadi pada anak, orangtua jangan langsung merundung dengan pertanyaan dan rasa ingin tahu yang tinggi. Biarkan anak tenang dengan masalahnya dan lakukan pendekatan dengan anak. Jika anak mengalami situasi yang tidak mengenakkan di luar rumah seperti mendapat ancaman, bujukan untuk berkelahi atau saling menantang dari lingkungan sepermainan dan ia menceritakannya kepada Anda, jangan langsung gelisah atau marah. Berikan masukan terbaik kepada anak agar anak merasa tenang bahwa orangtua selalu ada bersama mereka dalam kondisi apapun.
Sebaliknya jika perkelahian sudah terjadi dan anak Anda terlibat tawuran, berusahalah untuk tetap tenang. Hindari amarah yang berlebihan dan berkoordinasi dengan pihak sekolah. Meskipun akan menyisakan rasa kecewa di hati Anda akibat permasalahan perkelahian yang dihadapi anak, Anda tetap harus mendampingi anak dalam kondisi apapun. Jika anak bersalah, biarkan anak bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapinya. Dengan begitu, selain mengarahkan anak untuk belajar mengendalikan diri, anak juga belajar untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa.
